![]() |
ilustrasi |
Banyak orang menilai pekerjaan seorang jurnalis atau wartawan sebagai pekerjaan yang keren dan menganggapnya sebagai sosok serba bisa. Nyatanya, apa yang terlihat tak selalu seperti yang dirasakan para jurnalis itu sendiri. Sebuah kisah berikut terbilang menarik untuk mengeksplorasi seperti apa menjalani profesi seorang jurnalis. Selamat membaca.
Ditulis oleh Philip Eil
Pertengahan 2013, saya menerima telepon dari pembaca bersuara serak yang "sewot luar biasa" sesudah membaca artikel tentang pernikahan sesama jenis, yang saya tulis. Di tahun yang sama, sesudah artikel saya membahas diskriminasi ras oleh media tayang, nama saya beberapa kali disebut di sebuah video monolog YouTube oleh "nasionalis berkulit putih" dan "pahlawan kaum kanan radikal." Video tersebut dilihat lebih dari 10.000 kali. Bagian komennya dibanjiri ujaran kebencian. Beberapa di antaranya ditujukan ke saya.
Pernah saya ditelepon oleh pengadilan
dan diminta menjadi saksi seputar kasus peredaran narkoba yang saya
tulis. Saya akhirnya tidak jadi bersaksi di ruang sidang, tapi tetep aja
panggilan itu agak bikin ngeri.
Saya juga pernah bekerja untuk sebuah tabloid mingguan yang kekurangan staf. Saya hampir tidak pernah libur selama 18 bulan, sebelum akhirnya menyaksikan surat kabar ini bangkrut setelah 36 tahun beroperasi. Saya kemudian disuruh menulis eulogi untuk edisi terakhir tabloid tadi. Pernah juga saya harus mengalami pertikaian panjang—dan akhirnya menjadi isu publik—dengan klien karena gaji saya sebagai jurnalis lepas tak kunjung dibayar.
Saya juga pernah bekerja untuk sebuah tabloid mingguan yang kekurangan staf. Saya hampir tidak pernah libur selama 18 bulan, sebelum akhirnya menyaksikan surat kabar ini bangkrut setelah 36 tahun beroperasi. Saya kemudian disuruh menulis eulogi untuk edisi terakhir tabloid tadi. Pernah juga saya harus mengalami pertikaian panjang—dan akhirnya menjadi isu publik—dengan klien karena gaji saya sebagai jurnalis lepas tak kunjung dibayar.
Saya
berbagi semua pengalaman ini ke pembaca sekalian bukan untuk
pamer—lagian karir jurnalisme saya biasa aja kok. Saya bukan koresponden
medan perang atau reporter desk kriminal full-time. Saya juga tidak
meliput Pemilu 2016 AS yang kacau itu. Seenggaknya saya tidak sampai
apes kayak rekan wartawan lain yang dicekik narsum, digrepe pas liputan, dihujani ancaman pembunuhan atau hinaan anti-semit (kalau kamu ketahuan seorang jurnalis berdarah Yahudi). Saya juga bukan reporter perempuan di desk olahraga
yang harus menghadapi pelecehan online gila-gilaan sebagai bagian dari
rutinitas pekerjaan. Saya hanya seorang jurnalis biasa, yang setelah
menghabiskan satu dekade dalam industri ini, mencoba mengevaluasi
kondisi kesehatan mental saya secara jujur dan terbuka.
Beberapa
tahun belakangan, saya merasa kondisi psikologis semakin memburuk
akibat stres—kombinasi dari gelombang depresi, kecemasan, dan
hipokondria. Saya merasakan hilangnya kepuasan sesudah bekerja; semacam
awan negatif yang menyelimuti hidup seperti kabut—mungkin ada
hubungannya sama stres akibat pekerjaan. Kemudian musim semi 2017,
ketika mengerjakan artikel untuk sebuah majalah yang sangat sulit dan
menghadapi berbagai peristiwa menantang dalam kehidupan pribadi, saya
sadar sudah mengidap depresi klinis.
Saya menyebut depresi yang
saya idap kali ini sebagai "titik puncak". Sebab tidak seperti episode
depresi ringan sebelumnya, kali ini saya tak bisa lagi bekerja ke
lapangan, menulis, dan melibatkan aktivitas fisik lainnya. Ibaratnya
bagian dari otak saya yang mengandung motivasi, energi, serta kemampuan
mengolah ide disuntik dengan obat penenang. Saya merasa seperti zombie.
Secara mental dan emosional, saya kelelahan. Kata keluarga atau kawan
dekat, saya jadi pribadi yang sangat sinis.
Untungnya insting
jurnalistik saya tidak padam sepenuhnya. Di sela-sela pergi ke gym,
membeli makanan di luar, atau menonton film di atas kasur, saya mulai
mencari jawaban dari pertanyaan yang selama ini menganggu: Mungkinkah
menggeluti profesi sebagai jurnalis memberi efek buruk untuk kesehatan
mental saya?
Beberapa tahun
terakhir, ada banyak jurnalis yang secara terang-terangan menceritakan
efek dari pekerjaan mereka yang mengganggu kesehatan mental. Pada 2014,
kontributor Majalah Elle, Glynnis Macnicol menulis artikel
yang berhasil menerangkan secara gamblang rasanya mengalami keletihan
mental akibat tekanan profesi jurnalis. Setahun berikutnya, Huffington Post merilis laporan berseri dalam lima bagian tentang kesehatan mental di dalam ruang redaksi, seorang reporter kawakan Mac McLelland menerbitkan sebuah buku
tentang pengalamannya bergelut dengan PTSD, setelah dia meliput gempa
bumi di Haiti. Patut juga kita simak Gene Demby dari NPR yang menulis pengalamannya
sebagai jurnalis kulit hitam selama melaporkan berita rutin tentang
kematian etnisnya sendiri. Dibanding berita-berita lain di media,
artikel-artikel tentang kesehatan mental para jurnalis memang belum
mendapatkan banyak perhatian. Paling tidak percakapan antar sesama
jurnalis soal kesehatan mental mulai terjadi.
Para
ahli psikologi dan neurosains sejak lama mengatakan jurnalisme
tertinggal jauh dari profesi lain dalam hal penanganan trauma. Guru
Besar Bidang Psikologi dari University of Toronto, Anthony Feinstein,
pernah mengadakan penelitian tentang kesehatan mental para jurnalis di
seluruh dunia diterbitkan oleh Nieman Report. Responden berasal dari
Meksiko, Iran, Kenya hingga para kontributor media-media di medan
perang. Dalam penelitian itu
Feinsetein mengaku mulai tertarik mendalami topik ini sejak akhir
1990-an. Sayangnya, setelah melakukan "pencarian menyeluruh terhadap
catatan medis dan psikologi, bahkan di dunia sastra, saya gagal
menemukan satupun artikel tentang kesehatan mental jurnalis."
Belakangan
penelitian tentang kesehatan mental jurnalis mulai lebih banyak
dilakukan, setidaknya di Amerika Serikat dan Eropa. Dart Center dari
Columbia University memiliki banyak informasi yang luar biasa
tentang topik ini—tapi budaya kerja yang mendukung wartawan menghadapi
risiko depresi dan stres masih sangat kurang dan tertinggal dibanding
profesi lainnya. "Kepolisian, pemadam kebakaran, atau pekerja kantor pos
memiliki kultur organisasi yang lebih kuat dan pemahaman lebih baik
tentang dampak negatif dari profesi mereka dan bagaimana harus mendukung
kesehatan mental para pekerjanya," kata Elana Newman, profesor
psikologi dari University of Tulsa sekaligus direktur penelitian di Dart
Center. "Rasanya lebih mudah membicarakan kesehatan mental dengan
personel militer AS dibanding dalam profesi jurnalisme."
"Stigma yang menyelimuti kesehatan mental dalam dunia jurnalisme sangat besar," imbuh Elana.
"Sebagai
seorang jurnalis, anda diharap selalu siap melaporkan tentang trauma.
Anda ditekan agar tidak menjadi penderita trauma itu sendiri," kata
Gabrial Arana, jurnalis lepas yang mengedit seri artikel kesehatan
mental di Huffington Post. "Akibatnya, banyak rekan jurnalis
menganggap ada semacam kewajiban profesional agar selalu kuat ketika
mereka menderita, ketika mereka letih, atau mengalami depresi." Dia
mengatakan kesan bahwa jurnalis harus menjadi manusia super yang bisa
mengamati secara obyektif, tidak merasakan emosi apapun terhadap topik
yang mereka liput, "sesungguhnya tidak benar dan justru membahayakan."
Saya
menyadari, beberapa tahun ini terlanjur menuruti stigma-stigma
tersebut. Wartawan harus kuat, jurnalis tidak boleh manja, kami harus
berjarak dan tidak emosional ketika meliput isu-isu yang menyedihkan
sekalipun. Saya ingat, sering berusaha meyakinkan diri sendiri kalau
pekerjaan saya menyenangkan dan memuaskan. Saya sering berkata pada diri
sendiri bahwa tidak mungkin profesi saya bisa berdampak negatif untuk
pikiran. Saya belum menyadari saat itu melakoni pekerjaan impian kadang
bisa menjadi mimpi buruk.
Ketika saya tengah mengalami episode
depresi puncak, semua perasaan itu berubah, dan saya bisa melihat secara
lebih jernih bila profesi ini punya andil mengganggu kesehatan mental.
Industri media kini juga sedang dalam posisi tertekan. Presiden Donald
Trump menuding media massa
sebagai "musuh dari warga Amerika." Jurnalisme adalah sebuah industri
yang konon mengalami 'senjakala'. Ratusan ribu lapangan kerja di
industri media cetak hilang begitu saja beberapa dekade terakhir. Perusahaan yang tersisa saat ini kadang tidak bisa menggajimu layak, nominalnya bahkan tak sampai upah rata-rata tahunan.
Menjadi seorang jurnalis memaksamu menyerap informasi mengenai bermacam aspek terburuk manusia. Mulai dari korupsi, perubahan iklim, kejahatan, pelecehan seksual anak-anak, dan masih banyak lagi. Ini adalah pekerjaan yang kerap dihantui tenggat, kompetisi, dan ekspektasi dari atasan di redaksi agar karya kita selalu "mendominasi percakapan di media sosial."
Menjadi seorang jurnalis memaksamu menyerap informasi mengenai bermacam aspek terburuk manusia. Mulai dari korupsi, perubahan iklim, kejahatan, pelecehan seksual anak-anak, dan masih banyak lagi. Ini adalah pekerjaan yang kerap dihantui tenggat, kompetisi, dan ekspektasi dari atasan di redaksi agar karya kita selalu "mendominasi percakapan di media sosial."
Satu
dari berbagai macam faktor itu dapat mempengaruhi pikiran seseorang
yang sehat dan kalem sekalipun, jika dia terus menerus bergelut dalam
profesi jurnalis. Bayangkan kalau semua faktor negatif tadi muncul
bersamaan—hasilnya akan muncul medan perang psikologis dalam kepala
kalian. Kalian pasti ambruk!
Bagi
saya, jurnalis lepas yang menjalankan semua peran sendirian—bikin jadwal
wawancara, sekaligus CEO, nyambi jadi pengecek fakta, manajer, bahkan
sampai ngurusin kerjaan akuntansi—tanggung jawab selalu sehat secara
mental sangat menakutkan. Sekarang saya terlanjur depresi. Saya tidak
akan lagi angkuh mengabaikan pentingnya kesehatan mental.
Musim
panas ini, dalam fase depresi terburuk, saya menghabiskan enam minggu
tidak melakukan apa-apa. Saya memberi waktu istirahat sepantasnya bagi
tubuh. Rasanya sudah bertahun-tahun saya tidak ambil cuti atau libur.
Mumpung saya sedang memantabkan hati buat istirahat, saya beli sebuah
sepeda, mulai bermain golf, dan mengisi hari-hari tanpa kerja itu buat
mengunjungi museum, nonton di bioskop, dan datang ke sesi terapi bareng
psikiater secara reguler. Saya menghabiskan lebih banyak waktu bersama
teman dan keluarga, termasuk sama keponakan yang masih bayi.
Saya mundur dari media sosial (ini terhitung penistaan bagi seorang jurnalis). Kadang, saya sengaja menghindari membaca berita. Seiring waktu, mood membaik dan saya kembali mendapatkan energi untuk bekerja; saya berhenti mencari lowongan pekerjaan di bidang lain. Akhirnya, saya bisa kembali menulis dan menggali berita. Saya berusaha menerapkan pola kerja yang lebih sehat bagi mental setelah tetap berniat menjadi jurnalis.
Saya mundur dari media sosial (ini terhitung penistaan bagi seorang jurnalis). Kadang, saya sengaja menghindari membaca berita. Seiring waktu, mood membaik dan saya kembali mendapatkan energi untuk bekerja; saya berhenti mencari lowongan pekerjaan di bidang lain. Akhirnya, saya bisa kembali menulis dan menggali berita. Saya berusaha menerapkan pola kerja yang lebih sehat bagi mental setelah tetap berniat menjadi jurnalis.
Saya
mulai lebih aktif mengikuti percakapan seputar jurnalisme dan kesehatan
mental, menggunakan platform apapun yang saya punya. Saya juga
memberanikan diri berbagi cerita ke teman-teman jurnalis. Satu saran itu
adalah keberanian untuk mengakui bahwa saya mengidap kecemasan dan
depresi. Walaupun saya depresi, tidak otomatis saya akan menjadi
jurnalis yang buruk. Setidaknya, keberanian mengakui punya masalah
membuat saya menjadi seorang manusia seutuhnya. Tentu saja, ada saja
jurnalis tangguh seperti Katy Tur yang tidak terpengaruh oleh hal-hal yang bisa bikin kita stres. Jujur, saya bukan salah satunya. Saya tidak bisa jadi wartawan sehebat itu.
Saya
sering terpengaruh oleh pekerjaan, kadang secara negatif. Saya
mengakuinya. Dari percakapan saya dengan psikolog, saya belajar satu
hal: mengabaikan isu kesehatan mental malah membuat seseorang jadi
reporter yang kurang efektif. Feinstein mengatakan ke saya, wartawan
yang mengabaikan kesehatan mentalnya bagaikan dokter yang sedang tidak
sehat. Mana mungkin dia akan bisa membuat diagnosa yang akurat. "Ada
risiko nyata ketika seorang jurnalis tidak sehat secara psikologis, ini
bisa mempengaruhi hasil kerja mereka...Hasil tulisan mereka bisa sedikit
berbelok dan tidak akurat."
Newman mengatakan apabila industri media memahami pentingnya kesehatan mental, maka dosen di jurusan komunikasi akan mulai banyak membahas hal-hal semacam ini: "Pekerjaan yang nantinya kalian lakukan sebagai jurnalis itu sulit dan pastinya membuat kalian letih. Coba kalian bikin paper membahas rencana kalian menjaga kesehatan mental dalam momen-momen seperti itu!"
Sayangnya, tidak ada yang pernah mengucapkan hal seperti itu ke saya semasa kuliah dulu. Saya harus belajar dari pengalaman pahit sendiri. Para jurnalis, percaya deh. Mengabaikan stres kerja hanya akan memperburuk dampaknya nanti.
Newman mengatakan apabila industri media memahami pentingnya kesehatan mental, maka dosen di jurusan komunikasi akan mulai banyak membahas hal-hal semacam ini: "Pekerjaan yang nantinya kalian lakukan sebagai jurnalis itu sulit dan pastinya membuat kalian letih. Coba kalian bikin paper membahas rencana kalian menjaga kesehatan mental dalam momen-momen seperti itu!"
Sayangnya, tidak ada yang pernah mengucapkan hal seperti itu ke saya semasa kuliah dulu. Saya harus belajar dari pengalaman pahit sendiri. Para jurnalis, percaya deh. Mengabaikan stres kerja hanya akan memperburuk dampaknya nanti.
Ketika
sedang menulis artikel ini, saya menyempatkan ngobrol bareng Dean
Yates, mantan kepala biro kantor berita Reuters di Irak. Tahun lalu dia
melansir laporan luar biasa berjudul "The Road to Ward 17: My Battle
with PTSD."
Di akhir wawancara kami, Yates—yang baru-baru ini memperoleh anugerah Journalist Mental Health and Wellbeing Advocate—mengatakan
hal menginspirasi. Ketika dia berada di bangsal rumah sakit, dia
bertemu dengan seorang polisi dan pasien PTSD lainnya yang mengatakan
sangat penting agar Yates menggunakan pengalaman jurnalistiknya membahas
topik kesehatan mental. Dia ingat, salah satu polisi yang mengidap
trauma itu mengatakan, "kamu bisa menulis seperti apa rasanya menjadi
penderita PTSD seperti saya...Kamu bisa membantu orang lain."
"Jurnalis
yang mengidap penyakit mental berada dalam posisi unik untuk bisa
menceritakan cerita itu secara gamblang. Mereka bisa mengedukasi orang
tentang kesehatan mental berkat pengalaman yang otentik," kata Yates.
Bukan berarti setiap jurnalis harus menulis opini semacam itu ketika
mereka depresi. Setidaknya mereka yang bersedia melakukannya bisa
memberi dampak yang signifikan bagi pembaca.
"Saya sempat
menyimpan depresi yang saya alami akibat pekerjaan dalam waktu lama, dan
saya merasa sangat kesepian," katanya. "Perasaan kesepian tersebut
terasa sangat melumpuhkan."
***Disalin dari situs Vice.com
Sumber gambar: euromaidanpress.com
***Disalin dari situs Vice.com
Sumber gambar: euromaidanpress.com
0 komentar:
Posting Komentar