![]() |
ilustrasi |
Catatan Lukman Maulana, Redaktur Bontang Post
KABAR bohong alias
hoax seakan sedang menjadi tren belakangan ini. Sekalipun kampanye anti hoax
begitu masif didengungkan oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat
lainnya, tetap saja keberadaan hoax ini masih jamak ditemukan khususnya di
media sosial.
Tak bisa dimungkiri
bila perubahan pola gaya hidup masyarakat ke dunia teknologi informasi begitu
berpengaruh menyuburkan lahirnya hoax dewasa ini. Tambang uang melalui beragam
potensi di dunia digital membuat banyak pihak mengejar trafik tinggi dari
setiap “ladang bisnis” yang dibuat.
Tentu hal ini bukan
praktik yang sehat karena menjual kebohongan demi mendapatkan uang jelaslah
perbuatan yang nista. Sekalipun itu dilakukan di dunia maya, tetap saja tidak
bisa dibenarkan secara etika bahkan agama, karena kebohongan adalah suatu dosa.
Nyatanya hoax kini
bukan menjadi milik kelompok-kelompok tertentu yang punya tujuan mencari
keuntungan materi. Melainkan telah menjadi sarana bagi pihak-pihak di luar itu
untuk bisa menjaring simpati atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu. Khususnya
dalam kondisi politik terkini yang tensinya begitu memanas.
Semuanya seakan
memiliki kepentingan dalam hal penyebaran berita palsu ini, termasuk
pemerintah. Ya, pemerintah pun bisa jadi telah menyebarkan hoax apabila
“pencitraan” atas keberhasilan pembangunan nyatanya tidak sesuai dengan apa
yang tampak di lapangan. Hingga kemudian ramai didengar istilah lucu “Hoax
Membangun”. Ya benar membangun, tapi membangun kebohongan-kebohongan lainnya.
Sebagaimana judul
catatan saya ini, hoax kini tak lagi mengenal batas. Siapa saja bisa membuat
hoax dan di satu sisi, siapa saja juga bisa termakan hoax. Pemerintah, oposisi,
para pebisnis, semuanya bisa membuat hoax.
Di sisi lain, orang
berpendidikan maupun tidak berpendidikan sama-sama bisa terpapar dan memercayai
hoax. Bukan tidak mungkin kebencian akan sesuatu hal membuat akal waras
tertutupi, sehingga bahkan seorang profesor pun bisa begitu saja membenarkan
sebuah kabar palsu yang mendukung kebenciannya.
Media sosial
semacam facebook dan twitter dan aplikasi komunikasi seperti
WhatsApp (WA) atau Blackberry Messenger
(BBM) seakan menjadi sarang terbesar untuk hoax. Itu wajar terjadi mengingat
keberadaan media sosial kini seakan sudah menjadi “kebenaran” yang wajib
diamini. Bila dulu ada pendapat menyebut “apa yang tersaji di koran adalah
suatu kebenaran”, maka pendapat tersebut kini berpindah tempat ke media sosial,
internet, dan segala turunannya.
Keberadaan hoax di
satu sisi bisa menjadi alat ukur atas tingkat kecerdasan, kewaspadaan, serta
kadar emosi dari mereka yang melihatnya. Mereka yang cerdas tentu tidak akan
serta merta membenarkan informasi yang diterima. Tentunya ada proses tabayun
yang “memaksa” untuk mencari tahu kebenaran informasi tersebut lebih dulu
sebelum memutuskan kebenarannya.
Dari segi
kewaspadaan, proses tabayun ini begitu penting. Karena menyebarkan suatu
kebohongan bukan tidak berimplikasi apa-apa. Melainkan kini bisa dijerat dengan
hukum yang berlaku dengan ancaman pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal
Rp 1 miliar menurut Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) atau yang tenar dengan sebutan UU ITE.
Emosi pun demikian,
kerap kali menjadi pemicu atas pembenaran suatu kabar yang belum dipastikan kebenarannya.
Katakanlah kita benci suatu kelompok karena tindakan mereka yang kita anggap
buruk. Kemudian muncul berita buruk lainnya tentang kelompok itu, lantas kita
secara otomatis membenarkan berita itu dan menjadikannya penguat untuk membenci
kelompok bersangkutan. Padahal setelah diselidiki, kabar itu bohong.
Kasus ini
menunjukkan bahwa hoax pun kini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung
jawab untuk mengadu domba masyarakat. Bicara adu domba, sudah pasti berkonotasi
negatif, muaranya perpecahan bangsa. Hal inilah yang harus dicegah dan
dihindari. Maka cerdas, hati-hati, dan waspada terhadap keberadaan berita palsu
atau hoax merupakan kewajiban masyarakat di zaman now, kalau boleh meminjam
istilah kekinian itu.
Banyak cara bisa
dilakukan untuk mengetahui kebenaran suatu berita yang kini masif beredar di
dunia maya. Hanya saja, kadang kita terlalu malas untuk melakukannya karena
sudah keburu dikuasai emosi. Baik emosi berupa kebencian kepada suatu kelompok
atau individu, maupun emosi berupa keinginan untuk menjadi yang pertama dalam
menyebarkan “kebenaran”. Emosi-emosi inilah yang membutakan kewarasan kita.
Saya sempat
menemukan seorang warganet, seorang mahasiswa yang kesal akan Hamzah Mamba, bos
Abu Tours yang terjerat hukum karena kasus penipuan umrah. Warganet ini lantas
membagikan sebuah kiriman dari “KataKita”, sebuah akun fanpage di facebook. Kiriman
itu berupa potongan gambar atau screenshot
berita beralamat di “TribunWow”, dengan judul beritanya menyatakan kalau si
Hamzah Mamba meminta penyelesaian kasus dengan minta maaf karena sesama muslim.
Yang mengherankan, judul berita itu dibuat begitu panjang dengan bahasa yang
tidak baku dalam standar sebuah berita.
Mendengar judul
aneh seperti ini, seharusnya kita bisa curiga apakah benar berita tersebut. Tapi
karena warganet itu terlanjur kesal, maka kecurigaan, kewaspadaan itu hilang
entah kemana. Yang terjadi kemudian dengan mudahnya dia membagikannya di akun facebook pribadinya. Padahal setelah
saya teliti, portal berita “TribunWOW” yang dicatut dalam potongan berita itu
sama sekali tidak pernah menulis berita dengan judul seperti itu. Rubrik
“Fakta” yang tercantum dalam potongan berita itu pun sama sekali tidak eksis di
portal berita itu.
Itu baru satu
contoh, dan itu terjadi pada mahasiswa yang seharusnya mengedepankan akal
kritis dalam menyikapi masalah. Tapi nyatanya tidak demikian saat bertemu
dengan hoax. Bukan hanya mahasiswa, pihak-pihak yang seharusnya kritis misalnya
wartawan pun masih bisa terjebak menyebarkan hoax.
Dalam sebuah grup WA
berisi para kuli tinta, saya sempat menemukan seorang anggotanya menyebarkan
tulisan berisi suatu amalan ibadah agama Islam yang terbilang baru, belum
pernah saya ketahui sebelumnya. Akan tetapi melihat dari struktur informasi
yang dibagikan itu, dalam sekilas saya meragukan informasi tersebut.
Pasalnya amalan
ibadah pun harus punya dasar, tak bisa ditulis layaknya prosa begitu saja.
Dalam informasi amalan yang dibagikan tersebut, tidak ada saya dapati
keterangan dalil, entah itu Alquran atau hadis yang merupakan sumber hukum
Islam. Sehingga kesahihan informasi itu dapat dengan mudah dipertanyakan.
Ya, faktanya para
pembuat hoax banyak memanfaatkan isu-isu sensistif seperti agama dalam
menjaring “umatnya”. Dan hal ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum
internet jamak digunakan seperti saat ini. Bahayanya pun berlipat-lipat, karena
bisa menyesatkan pemeluk agama, khususnya bagi mereka yang labil dan jarang
beribadah.
Di satu sisi, para
pembuat dan penyebar hoax jenis ini bukan hanya bisa terjerat pidana di dunia,
melainkan juga pidana Tuhan di akhirat kelak. Karena sudah sangat jelas
orang-orang sesat dan menyesatkan merupakan orang-orang berdosa yang
ganjarannya neraka. Dosanya bahkan terus mengalir sekalipun para pelakunya itu
sudah meninggal. Dosa jariyah.
Maka dengan segala
konsekuensi ini, penting bagi kita untuk cerdas dalam menyikapi suatu kabar di
era teknologi dewasa ini. Dan penting bagi kita untuk menjadi waspada, berpikir
berkali-kali kalau perlu, sebelum memutuskan menyebarkan suatu berita. Karena
kalau tidak, kita bisa mendekam di penjara, berdosa, atau malahan menanggung
dosa orang lain karena kecerobohan kita.
Pun begitu, mari
kita bersama-sama mendoakan para pembuat hoax berikut penyebarnya untuk bisa
sadar dan bertaubat. Khususnya mereka yang melakukannya semata demi mendapatkan
materi. Karena ibarat harta yang didapatkan dari mencuri, harta yang didapatkan
dari kebohongan pun hukumnya haram dan akan menjadi daging bagi keturunan
kelak. Naudzubillahi min dzalik. (*)
Sumber ilustrasi: liputan6.com
0 komentar:
Posting Komentar